Monday, April 2, 2007

Masa Depan Timur Tengah Sekarat

KAPAN konflik Israel-Palestina berakhir? Kalau konflik itu berakhir, dunia kiamat! Itulah jawaban sambil lalu yang pernah suatu ketika muncul. Bisa jadi jawaban tersebut diberikan sekadar untuk mengingatkan betapa rumitnya konflik yang sudah beranak-cucu tersebut. Amerika Serikat saja misalnya, sudah hampir 25 tahun berusaha menjadi broker bagi penyelesaian damai konflik Timur Tengah, akan tetapi hingga kini belum juga menunjukkan hasil.

Orang pernah menduga, ketika 25 tahun silam Presiden Mesir Anwar Sadat mengunjungi Jerusalem dan berpidato di depan Knesset (Parlemen Israel), inilah pertanda awal berakhirnya konflik Timur Tengah. Apalagi, setahun kemudian, 1978, PM Israel Menachem Begin, Presiden Anwar Sadat, dan Presiden AS Jimmy Carter bertemu selama 12 hari di Camp David, Maryland, AS. Dari pertemuan itu, lahirlah yang kemudian disebut Perjanjian Camp David (ditandatangani bulan Maret 1979). Melihat perkembangan itu, harapan bahwa perdamaian akan segera lahir di Timur Tengah begitu kuat.

Konon, ketika itu puluhan ribu warga Israel itu turun ke jalan, menunjukkan dukungan bagi perundingan perdamaian dengan Mesir dan menentang pendudukan Israel atas wilayah Arab sejak perang tahun 1967. Seakan, kunjungan Sadat ke Jerusalem itu menerbitkan matahari baru yang membawa sinar perdamaian di kawasan Timur Tengah yang selalu disebut sebagai pusaran konflik. Pertumpahan darah dan teror akan segera berakhir.

Ternyata harapan itu sia-sia. Yang lahir justru sebuah ironi. Timteng yang dikenal sebagai pusat peradaban tinggi, tempat para nabi, tanah lahirnya agama-agama besar, dan awal berkumandangnya seruan "damai di Bumi bagi orang yang berkehendak baik", justru menjadi teater kekerasan.

Anwar Sadat dihabisi, di saat ia menyambut parade militer pada 6 Oktober 1981. Ia tewas karena berondongan senjata yang dilepaskan Letnan Khaled el Islambouli dan Hussein Abbas dengan menggunakan senapan Khalashnikov.

Ia dihabisi karena mengunjungi Israel, berbicara di depan Knesset, dan malahan pada akhirnya menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel. Jauh sebelumnya, 1951, nasib serupa menimpa Raja Jordania Abdullah (ayah Raja Hussein). Ia tewas dibunuh setelah terungkap melakukan perundingan rahasia dengan Israel.

Tragedi yang sama terulang lagi. PM Israel Yitzhak Rabin, yang mendapat Nobel Perdamaian 1994 bersama pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Menlu Israel Shimon Peres, mengalami nasib tragis seperti Sadat. Ia dibunuh seorang pemuda Yahudi esktremis.

***

BARANGKALI karena itu, lantas ada yang mengatakan, kalau konflik Timur Tengah berakhir, maka dunia pun akan berakhir alias kiamat. Pendapat tersebut, tak lebih tak kurang, rasanya hanya ingin menegaskan bahwa konflik di kawasan itu begitu rumit, begitu pelik, begitu kompleks yang sudah demikian sulit diselesaikan.

Beberapa waktu lalu misalnya, Presiden AS George W Bush mengatakan bahwa "masa depan Timur Tengah sekarat" (International Herald Tribune (25/4)). Masa depan Timur Tengah memang "sekarat" kalau Israel, misalnya, terus tetap mempertahankan wilayah pendudukan, beberapa wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang dikuasai setelah Perang 1967. Masa depan Timur Tengah memang "sekarat" bila masalah pemukiman, masalah pengungsi, masalah status Jerusalem belum selesai.

Hingga kini misalnya, Israel masih melancarkan dua kampanye sekaligus. Pertama, kampanye yang mereka sebut sebagai mencabut dan menghancurkan infrastruktur terorisme Palestina. Kedua, sambil melakukan kampanye pertama, Israel sekaligus menggelar kampanye kedua yakni menghancurkan gerakan nasional Palestina yang selama ini dianggap menghalangi pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Atau dengan kata lain, kampanye kedua adalah mencegah terbentuknya negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Mungkinkah perdamaian pada akhirnya lahir di Timur Tengah? Uskup Agung Anglikan Afrika Selatan Desmond Tutu secara tegas mengatakan: Ada tiga pilihan bagi Israel. Pertama, kembali ke jalan buntu yang dipenuhi oleh kebencian dan balas dendam; kedua, memusnahkan seluruh orang Palestina; dan ketiga, mengusahakan perdamaian yang adil-mundur dari wilayah pendudukan dan membiarkan Negara Palestina Merdeka lahir dengan perbatasan-perbatasan yang jelas dan tegas.

Pilihan mana yang akan diambil Israel? Kalau Israel salah menjatuhkan pilihan, maka benar apa yang dikatakan Bush, "masa depan Timur Tengah sekarat". (IAS)

No comments: