Monday, April 2, 2007

Membela Palestina dalam Perspektif Syariah

Oleh Fauzan Al-Anshari

''Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Bani Israil/17:1).

MASJID Al-Aqsha yang disebut juga Baitul Muqaddas adalah tanah suci ketiga bagi umat Islam setelah Masjid Al-Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Disebut Al-Aqsha karena jarak masjid tersebut adalah yang paling jauh dari Masjid Haram, tempat kaum muslimin ditekankan untuk berziarah ke sana mencari karunia dan rahmat-Nya, serta diberkatinya daerah sekitarnya (Palestina) dengan banyaknya nabi diturunkan di sana dan kesuburan tanahnya, serta keberanian penduduknya (Mukhtashar Tafsir At-Thabari).

Oleh karena itu, Rasulullah saw menekankan umat Islam untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha tersebut sebagai bagian dari ibadah (HR Bukhari Muslim). Namun, semenjak pendudukan Zionis Israel yang telah merampas wilayah Palestina pada 1948, hingga detik ini kaum muslimin di seluruh dunia tidak bisa secara bebas dan aman mengunjungi Al-Aqsha, sebagaimana mereka bisa mengunjungi kedua masjid suci lainnya. Hal inilah yang kemudian mengharuskan kaum muslimin untuk segera membebaskan Tanah Suci Palestina dari cengkeraman penjajahan Yahudi tersebut.

Dalam sejarahnya, upaya pembebasan Al-Aqsha telah dilakukan oleh bangsa-bangsa Arab dalam perang Arab-Israel (1967). Tetapi, anehnya bangsa-bangsa Arab itu gagal menaklukkan Israel yang memang dibantu oleh Amerika Serikat dan Inggris. Akhirnya, wilayah yang dicaplok oleh Israel bertambah luas, meliputi Jerussalem, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Setelah perjanjian Camp David antara Anwar Sadat (Mesir) dan Menachem Begin (Israel) yang diprakarsai oleh AS ditandatangani, perjuangan bangsa Palestina memasuki diplomasi yang intensif hingga Yasser Arafat terpilih sebagai Presiden Palestina.

Namun, segala upaya diplomasi perdamaian mengalami pasang surut, bahkan hampir tidak ada sebuah perjanjian damai yang bisa bertahan lama, sehingga PBB sendiri tak kurang telah mengeluarkan puluhan resolusi untuk menghentikan 'pertikaian' antara bangsa Palestina dan Israel, tetapi semuanya mengalami kegagalan. Lalu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi semua kegagalan itu? PBB dan khususnya AS ingin masalah tersebut dilokalisasi menjadi masalah domestik antara negara Palestina dan Israel saja. Tanpa harus membawa-bawa sentimen agama apa pun alias murni masalah nasionalisme. Tentu saja upaya 'nasionalisasi' permasalahan tersebut justru menjadi kunci kekeliruan AS dan PBB, serta sebagian warga Indonesia dalam memandang 'konflik' ini.

Oleh karena itu, kita harus menoleh ke belakang untuk mengetahui dasar-dasar berdirinya negara Israel tersebut agar perspektif kita terhadap masalah ini menjadi tercerahkan dan tidak melakukan simplifikasi yang absurd. Menurut sejarah, berdirinya negara Israel, ternyata Israel memunyai tiga alasan utama mengapa mereka mendirikan negara di Palestina, mengapa tidak di tempat lain saja (Paul Findley: 1995 dalam Masa Depan Palestina, Nuim Hidayat).

Alasan pertama adalah warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil, seperti disebutkan dalam Kitab Kejadian 15:18, ''Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari Sungai Mesir hingga Sungai Besar, Sungai Efrat.'' Dengan demikian, Zionis Israel telah memanipulasi 'Janji Tuhan' dengan mengumandangkan 'jihad' untuk merebut Tanah Suci Palestina dengan melakukan tindakan bar-bar dan kejahatan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun.

Alasan kedua adalah lahirnya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh Inggris Raya pada 1917, saat itu wilayah Palestina berada di bawah penjajahan Inggris sebagai akibat Perang Dunia I (1914-1918). Deklarasi tersebut telah memberikan jalan bagi Israel memasuki Tanah Suci Palestina secara 'legal' dan massive. Klaim Yahudi atas Tanah Suci tersebut memang telah dipersiapkan secara matang oleh Theodore Herzl (1860-1904), di mana doktrin-doktrin pewajiban berdirinya negara Yahudi itu telah disusun secara sistematis dalam buku Der Judenstaat yang telah diresmikan dalam Kongres Zionis Dunia di Basle pada 1897. (Roger Garaudy, 1988, ibid). Sebagian isi Deklarasi Balfour itu menyatakan 'Pemerintah (Inggris) menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina dan berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini ....'' (ibid).

Alasan ketiga adalah resolusi PBB Nomor 181 Tahun 29 November 1947 yang dikeluarkan sebelum proklamasi kemerdekaan Israel pada 1948. Resolusi tersebut lahir atas prakarsa Presiden AS, Truman, yang isinya menyebutkan pembagian negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan rezim internasional istimewa untuk Kota Jerussalem. Selanjutnya, PBB akan memberikan 57% tanah Palestina kepada Israel. (ibid). Dampak dari resolusi tersebut adalah melonjaknya sejumlah warga Yahudi di Palestina, dari semula sekitar 56 ribu orang (1917) menjadi sekitar 608.225 orang (1947), sedangkan menurut majalah Time edisi 25 Maret 2002, warga Yahudi kini berjumlah sekitar 6,1 juta, sementara warga Arab berjumlah sekitar 3,3 juta orang.
Mencermati kenyataan seperti ini, langkah apa yang paling strategis yang harus dilakukan oleh kaum muslimin, khususnya warga Palestina untuk menghentikan invasi Yahudi tersebut. Apakah cukup hanya dengan dialog dan perjanjian perdamaian yang sering diingkari Yahudi tersebut? Bagi kaum muslimin, karakter orang-orang Yahudi telah sangat jelas diuraikan dalam Alquran, bahkan ada surat khusus yang bernama Bani Israel (17). Oleh karena itu, untuk menentukan langkah perjuangan tersebut perlu dipaparkan menurut perspektif syariah.

Dari perjalanan sejarah tadi kita menyaksikan bahwa Zionis Israel memulai menginvasi bangsa Palestina dengan memerangi kaum muslimin di sana. Oleh sebab itu, status negara Israel bagi kaum muslimin adalah sebagai kafir harbi, yaitu orang kafir yang wajib diperangi karena telah memerangi kaum muslimin, sebagaimana firman Allah Swt ''Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.'' (QS. 22:39). Ayat-ayat senada yang mewajibkan kaum muslimin berperang melawan kafir harbi dapat dibaca di surat 9:39,41, 4:71, dan 2:216. Adapun terhadap kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin dilarang memerangi mereka.

Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda ''Tidak ada kewajiban hijrah setelah penaklukan Mekkah ini. Akan tetapi, yang ada adalah berjihad dan niat. Maka, jika kalian diminta berangkat (perang), berangkatlah kalian!'' (HR Bukhari Muslim). Di sinilah mengapa FPI dan komponen umat Islam lainnya seperti Majelis Mujahidin, GAZA, HAMMAS, GPI, GPMI, dan lain-lain, bahkan MUI sendiri sama-sama mengumandangkan jihad melawan pendudukan Israel di Palestina. Jadi, bagaimana mungkin dalil-dalil sahih ini bisa dianulir hanya oleh sebuah Editorial Media Indonesia dan tayangan Metro-TV? Sungguh isi dan penulis editorial itu sebuah lukisan kenaifan yang memprihatinkan!***

Penulis adalah Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia
Tulisan ini dikutip dari Media co.id edisi, Senin, 8 April 2002

No comments: